MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH DALAM KEBIJAKAN KESEHATAN
TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER
KEBIJAKAN KESEHATAN
MASALAH DAN PERUMUSAN MASALAH DALAM KEBIJAKAN KESEHATAN
Disusun Oleh :
Zaedatul Farida
25010113120122
B.2013
FAKULTAS
KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS
DIPONEGORO
SEMARANG
2014
Masalah
dan Perumusan Masalah dalam Kebijakan Kesehatan
Pengertian
Masalah
Masalah
kebijakan publik adalah nilai, kebutuhan atau kesempatan yang belum terpenuhi,
tetapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Informasi
mengenai sifat masalah dan potensi pemecahannya dihasilkan melalui penerapan
prosedur analisa kebijaksanaan perumusan masalah (Dunn, 1992:92)
James
E.Anderson dengan mengutip pendapat David G.Smith memberikan pernyataan sebagai
berikut :
“For policy purposes, a problem can be
formally defined as condition or situation that produces needs or
dissatisfactions on the part of people for which relief or redress is sought.
This may be done by those directly affected or by others acting on their behalf”
(untuk kepentingan kebijaksanaan, suatu masalah dapat diartikan secara formal sebagai
kondisi atau situasi yang menghasilkan kebutuhan-kebutuhan atau
ketidakpuasan-ketidakpuasan pada rakyat untuk mana perlu dicari cara-cara
penanggulangannya. Hal ini dilakukan oleh mereka yang secara langsungterkena
akibat oleh masalah itu atau orang lain yang punya tanggung jawab untuk itu).
Jones
mengartikan “peristiwa” sebagai kegiatan-kegiatan manusia atau alam yang
dipandang memiliki konsekuensi pada kehidupan sosial. Dan mengartikan “masalah”
sama dengan pendapat Smith diatas yaitu: kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus
diatasi/dipecahkan (Islamy, 2004:79).
Masalah
dapat dirumuskan sebagai ketidaksesuaian antara suatu ukuran (asas, norma, atau
tujuan) dengan gambaran suatu keadaan sedang berlangsung atau diperkirakan akan
terjadi. Dengan demikian, maka masalah adalah perbandingan ukuran yang dipakai
dengan gambaran keadaan yang sedang berlangsung. Misalnya penyerobotan rumah
dapat dipandang oleh pemerintah sebagai suatu masalah gangguan ketertiban umum
atau sebagai masalah kekurangan perumahan atau dua-duanya, tergantung dari
ukuran atau segi pandangan yang dipakai oleh pemerintah dan keadaan yang sedang
berlangsung (Suryaningrat, 1989:12).
Karakteristik Masalah
Berikut
ini, dikemukakan beberapa karakteristik pokok dari masalah kebijaksanaan :
1.
Saling
bergantung (interdependence) : masalah kebijaksanaan dalam suatu bidang
(misalnya, energi) seringkali mempengaruhi masalah kebijaksanaan lainnya
(misalnya, perawatan kesehatan, pengangguran). Pada kenyataannya masalah
kebijaksanaan bukan merupakan kesatuan yang berdiri sendiri, mereka merupakan
bagian dari seluruh sistim masalah yang disebut sebagai messes, yaitu
sistim kondisi eksternal yang menghasilkan ketidakpuasan dari setiap kelompok
masyarakat. Sistim masalah (messes) sulit atau tidak mungkin dipecahkan dengan
menggunakan pendekatan analitik (analitic approach) – yaitu pendekatan
yang memecah masalah kedalam elemen-elemen atau bagian-bagiannya – karena
masalah jarang yang dapat didefinisikan dan dipecahkan terpisah satu dengan
yang lainnya. Kadang kala lebih mudah “memecahkan sepuluh masalah yang
berpautan satu sama lain daripada memecahkan satu masalah yang berdiri
sendiri”. Sistim masalah yang saling bergantung memerlukan pendekatan
holistik (holistic approach), yaitu pendekatan yang memandang masalah
sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan dan diukur
sendirian (Dunn, 1992:94).
2.
Subjektif
(subjective) : yaitu kondisi eksternal yang menimbulkan masalah didefinisikan,
diklasifikasikan, dijelaskan dan dievaluasi secara selektif. Meskipun terdapat
pengertian bahwa masalah merupakan suatu hal yang objektif – misalnya, polusi
udara dapat dijelaskan sebagai jumlah gas atau partikel dalam udara – data yang
sama mengenai polusi dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara yang berbeda.
Masalah kebijaksanaan (policy problem) “adalah produk aktifitas berfikir
terhadap lingkungan; problem merupakan elemen dari situasi problematis yang
diabstraksi dari suatu situasi tertentu oleh analis. Karena itu, yang kita
alami adalah situasi problematis (problematic situation), bukan problem
itu sendiri, seperti atom atau sel, merupakan CONSTRUCTS yang konseptual”.
Dalam analisa kebijaksanaan penting sekali untuk tidak mencampuradukkan situasi
problematis dengan problem atau masalah kebijaksanaan, karena problem
kebijaksanaan merupakan buah pikiran yang timbul melalui pemindahan pengalaman
kedalam pikiran manusia.
3.
Buatan
(artifisial). Masalah kebijaksanaan hanya mungkin ada jika manusia
mempertimbangkannya perlunya merubah situasi problematis. Masalah kebijaksanaan
merupakan buah pandangan subjektif manusia; masalah kebijaksanaan juga
cenderung diterima sebagai definisi yang sah mengenai kondisi sosial yang
objektif; karena itu masalah kebijaksanaan dirumuskan, dicapai dan dirubah
secara sosial. Masalah tidak dapat dipisahkan dengan individu atau kelompok
yang mendefinisikannya, dalam arti bahwa tidak ada keadaan masyarakat yang
secara “alami” mengangkat dari dalam dirinya masalah kebijaksanaan (Dunn, 1992:95).
4.
Dinamis
(dinamics). Banyak pemecahan masalah yang dapat diambil sebanyak definisi yang
dapat diberikan kepada suatu masalah. “masalah dan pemecahannya berada dalam
suasana perubahan yang terus menerus (constant flux); karenanya masalah tak
akan pernah dapat terpecahkan secara tuntas. Pemecahan terhadap suatu masalah
dapat menjadi usang sekalipun masalah yang dipecahkan tidak usang”. Dalam
rangka perumusan masalah pertama kali harus diatasi kemungkinan terjadinya problem
unsolving yang berarti bahwa seseorang menghasilkan pemecahan yang benar
atas masalah yang salah (Dunn, 1992:96)
Tiga Kelas
Masalah Kebijakan
Terdapat
tiga kelas masalah kebijakan, yaitu: masalah yang sederhana (well-structured),
masalah yang agak sederhana (moderately-structured) dan masalah yang
rumit (ill-structured). Struktur dari masing-masing kelas ini ditentukan
oleh tingkat kompleksitasnya, yaitu, derajat seberapa jauh suatu masalah
merupakan sistem permasalahan yang saling tergantung (Dunn, 1992:101).
Masalah yang
sederhana (well-structured problems) adalah masalah yang melibatkan satu
atau beberapa pembuat keputusan dan seperangkat kecil alternatif-alternatif
kebijakan. Kegunaan (nilai) mencerminkan konsensus pada tujuan-tujuan jangka
pendek yang secara jelas diurutkan dalam tatanan pilihan pembuat keputusan.
Hasil dari masing-masing alternatif diketahui dengan keyakinan yang tinggi
(secara deterministik) atau di dalam margin kesalahan yang rnasih dapat
diterima (risiko). Prototipe masalah yang sederhana adalah masalah keputusan
yang dikomputerkan secara penuh, di mana semua konsekuensi dari semua
alternatif kebijakan diprogram. Masalah-masalah operasional yang secara relatif
lebih rendah di dalam instansi pemerintah memberi gambaran mengenai masalah
yang sederhana. Sebagai contoh, masalah mengganti kendaraan secara relatif
adalah masalah yang sederhana yang meliputi pencarian titik optimum pada
kendaraan lama yang harus dijual untuk yang baru, diambil ke dalam perhitungan
biaya perbaikan rata-rata bagi kendaraan lama dan pembelian dan harga depriasi
bagi kendaraan yang baru.
Masalah yang
agak sederhana (Moderately structured problems) adalah masalah-masalah
yang melibatkan satu atau beberapa pembuat keputusan dan sejumlah alternatif
yang secara relatif terbatas. Kegunaan (nilai) juga mencerminkan konsensus pada
tuiuan-tujuan jangka pendek yang diurutkan secara jelas. Meskipun demikian,
hasi1 dari alternatif-alternatif itu belum tentu meyakinkan (deterministik)
ataupun diperhitungkan di dalam margin kesalahan yang diterima (risiko); hasil-hasil
itu tidak meyakinkan/tidak tentu, yang berarti bahwa probabilitas kesalahan
tidak dapat diperkirakan sama sekali. Contoh dari masalah yang agak sederhana
adalah simulasi atau permainan kehijakan, suatu ilustrasi yang disebut dengan
"dilema tahanan” (Dunn, 1992:102).
Dalam
pernainan ini dua tahanan ditahan dalam ruang tahanan, sel yang terpusat, di
mana masing-masing tahanan diinterograsi oleh penuntut, yang harus memperoleh
pengakuan dari salah seorang atau kedua tahanan itu untuk menetapkan hukuman.
Penuntut yang telah mempunyai cukup bukti untuk menghukum masing-masing tahanan
yang melakukan kejahatan ringan itu, mengatakan kepada setiap tahanan, jika
tidak ada yang mengaku maka mereka akan dituduh melakukan kejahatan yang ringan
dengan tuntutan hukuman yang juga ringan; jika keduanya mengaku melakukan
kejahatan yang lebih serius, keduanya akan menerima pengurangan hukuman; tetapi
jika hanya salah seorang yang mengaku, tertuduh yang mengaku akan menerima
hukuman percobaan, sementara yang lain akan menerima hukuman maksimum. Pilihan
"optimal" bagi masing-masing tahanan, dengan asumsi bahwa
masing-masing tidak mengetahui keputusan yang diambil pihak lain, adalah untuk
mengaku. Dengan begitu masing-masing akan menerima keputusan lima tahun
hukuman, karena keduanya kclihatannya berusaha untuk meminimalkan hukuman
mereka. Contoh ini tidak hanya menggambarkan kesulitan membuat pilihan ketika
hasilnya tidak pasti tetapi juga memperlihatkan bahwa pilihan individu yang
"rasional" dapat memberi kontribusi terhadap irasionalitas kolektif
dalam kelompok-kelompok kecil, birokrasi pemerintah dan masyarakat secara
keseluruhan.
Masalah yang
rumit (Ill-structured problems) adalah masalah-masalah yang
mengikutsertakan banyak pembuat keputusan yang utilitas (nilai)nya tidak
diketahui atau tidak mungkin untuk diurutkan secara konsisten. Jika
masalah-masalah yang sederhana dan agak sederhana mencerminkan korsensus, maka
karakteristik utama dari masalah-masalah yang rumit adalah konflik di antara
tujuan-tujuan yang saling bersaing. Alternatif-alternatif keebijakan dan
hasilnya dapat juga tidak diketahui, karena tidak mungkin memperkirakan risiko
dan ketidakpastian. Masalah pilihan tidak untuk menentukan hubungan-hubungan
deterministik yang diketahui, tetapi lebih untuk mendefinisikan sifat masalah.
Contoh masalah yang rumit adalah masalah keputusan intransitif secara penuh,
yaitu, suatu masalah di mana tidak mungkin untuk memilih alternatif kebijakan
tunggal yang disukai oleh semua orang. Sementara masalah yang sederhana atau
agak sederhana mengandung urutan-urutan pilihan yang transitif-yaitu, jika
alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A2, dan
alternatif A2 lebih disukai daripada alternatif A3, maka
alternatif A1 lebih disukai daripada alternatif A3—masalah
yang rumit mempunyai urutan pilihan yang intransitif (Dunn, 1992:103).
Perumusan masalah dalam analisa
kebijakan
Perumusan
masalah, sebagai salah satu tahap dalam proses penelitian dimana analisis
meraba-raba untuk mencari definisi yang mungkin mengenai situasi problematis,
tak disangkal merupakan aspek yang paing rumit tetapi paling sedikit difahami
dalam analisa kebijaksanaan. Proses perumusan kebijaksanaan tidak mengikuti
aturan-aturan yang definitif, karena masalah kebijaksanaan itu sendiri
sedemikian kompleks. Karena itu, masalah kebijaksanaan merupakan tahap paling
kritis dalam analisa kebijaksanaan, karena analisis lebih sering memecahkan
masalah yang salah daripada menemukan pemecahan yang salah atas masalah yang
benar. Kesalahan yang fatal dalam analisa kebijaksanaan adalah memecahkan
rumusan masalah yang salah karena analisis dituntun untuk memecahkannya secara
benar (Dunn, 1992:92).
Syarat yang
dibutuhkan dalam rangka memecahkan masalah yang susunannya tidak jelas, tidak
sama dengan yang dibutuhkan untuk masalah yang tersusun dengan baik. Jika pada
masalah yang tersusun dengan baik analis dapat menggunakan metode-metode
konvensional untuk memecahkan masalah yang telah dirumuskan dengan jelas atau
terbukti sendiri, maka pada masalah yang susunannya tidak jelas terdapat tuntutan
agar analis mengambil langkah pertama dengan mendefinisikan masalah itu
sendiri. Dalam mendefinisikan sifat masalah, analis tidak hanya meletakkan
dirinya dalam situasi problematis, tetapi juga harus menguji pemikiran dan
wawasannya secara kreatif. Ini berarti bahwa kebanyakan analisa kebijaksanaan
tercurah pada perumusan masalah dan setelah itu baru pada pemecahan masalah.
Pada kenyataannya, pemecahan masalah hanya merupakan sebagian kecil dari kerja
analisa kebijaksanaan (Dunn, 1992:106).
Lebih lanjut
Hoogerwerf membedakan langkah-langkah dalam merumuskan masalah sehubungan
dengan pengembangan analisis kebijaksanaan :
1.
Menyatakan
hubungan (context) sosial, artinya menunjuk pada aspek dan atau sektor
kebijaksanaan yang dianggap ada kaitannya dengan masalah.
2.
Menguraikan
keadaan yang dikehendaki, artinya menyatakan asas, norma dan tujuan yang
berkenaan dengan hubungan sosial yang dinyatakan.
3.
Melukiskan
keadaan yang sedang berlangsung dan keadaan yang mungkin terjadi dalam bidang
kebijaksanaan yang sedang dijalankan tanpa perubahan.
4.
Membandingkan
keadaan yang sedang berlangsung dan yang mungkin terjadi dengan keadaan yang
diharapkan. Melihat adanya ketidaksesuaian antara keadaan yang sedang
berlangsung atau yang mungkin terjadi di satu pihak dan keadaan yang diharapkan
di lain pihak adalah melihat adanya masalah.
5.
Menentukan
sebab-sebab ketidaksesuaian, yaitu sebab adanya masalah.
Sebab masalah mungkin
berada diluar kebijaksanaan yang sedang dijalankan. Misalnya: pengangguran
dapat disebabkan oleh upah kerja yang tinggi, automatisering,
saingan luar negeri, dan sebagainya. Sebab masalah dapat juga terdapat didalam
kebijaksanaan yang sedang dijalankan. Misalnya, tujuan, sarana dan waktu
kebijaksanaan, pengadaan lapangan kerja kurang, dan sebagainya. Selain darpada
itu suatu kebijaksanaan dapat juga mempersulit masalah yang bersangkutan atau
menimbulkan masalah yang baru (Suryaningrat, 1989:14)
Tahap-tahap kebijakan publik
menurut William Dunn adalah sebagai berikut:
1. Penyusunan Agenda
Penyusunan
agenda adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas
kebijakan publik. Dalam proses inilah ada ruang untuk memaknai apa yang disebut
sebagai masalah publik dan
agenda publik perlu diperhitungkan. Jika sebuah isu telah menjadi masalah
publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak
mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam
penyusunan agenda juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang
akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues)
sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy
issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para
aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan
pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut.
Menurut
William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya
perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas
suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda
kebijakan. Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan
publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986)
diantaranya: 1. telah mencapai titik kritis tertentu; jika diabaikan,
akan menjadi ancaman yang serius; 2. telah mencapai tingkat partikularitas
tertentu berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent.
orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau
dampak yang amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam
masyarakat ; 6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit
dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Karakteristik : Para pejabat
yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak
masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.
Ilustrasi : Legislator
negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang
mengirimkan ke Komisi
Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti
di komite dan tidak terpilih.
Penyusunan agenda kebijakan
seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga
keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat
urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah
yang sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang
ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda
kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing
untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.
3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan
legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan.
Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan
rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga
negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah. Mendukung. Dukungan
untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik
terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan
disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu.
Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara
umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut
estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan
dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional.
Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja,
melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah-masalah kebijakan,
program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan,
implementasi, maupun tahap dampak kebijakan (Dunn, 1998:24).
Kasus
1
Mengkhawatirkan, Kadar Asap Rokok di Jakarta
23 nov 2013
Hasil
penelitian yang dilakukan sebuah lembaga yang mengkaji masalah asap rokok atau
Smoke Free di Jakarta mengungkapkan kadar partikel asap rokok semakin
mengkhawatirkan karena telah melebihi ambang batas normal yang ditentukan World
Health Organization (WHO).
Hasil pengukuran partikel asap rokok yang dilakukan Smoke Free di 169
lokasi dan 88 gedung perkantoran di Jakarta baru-baru ini menunjukkan kadar
asap rokok 150-200 miligram per meter kubik atau tujuh-delapan kali lebih besar
dari batas yang ditentukan WHO yaitu 25 miligram per meter kubik, demikian
siaran pers Smoke Free Jakarta yang diterima Antara, Jakarta, Rabu.
Bukan hanya perkantoran di mal dan hotel pun tak kalah mengkhawatirkan,
karena hasil pengukuran di 37 lokasi mal menengah keatas di Jakarta kadar asap
rokok rata-rata 239,5 miligram per meter kubik atau 10 kali lipat ambang batas
normal yang ditentukan WHO. Sedangkan kadar asap rokok di hotel mencapai 165,3
miligram per meter kubik atau enam kali lipat ambang batas normal.
Hasil penelitian ini menunjukkan pencemaran asap rokok di dalam gedung
perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta telah melebihi tingkat pencemaran di
udara. Artinya, hampir seluruh gedung perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta
tercemar asap rokok hingga batas yang mengkhawatirkan.
Belakangan beberapa gedung di Jakarta telah menerapkan sistem pemisahan
area untuk merokok dan area yang dilarang merokok, namun ternyata penelitian
membuktikan hal tersebut tidak banyak memberi manfaat karena asap rokok
menyebar kemana-mana. Penelitian membuktikan kadar asap di area dilarang
merokok 187,6 miligram per meter kubik dan untuk kadar asap area merokok hampir
sama yaitu 194,6 miligram per meter kubik.
Penelitian juga dilakukan di bulan puasa pada lokasi yang sama, dimana
kondisi di tempat tersebut menerapkan bebas asap rokok ternyata hasilnya asap
rokok telah berkurang dua kali lipat dari kondisi biasanya.
Melalui siaran pers, Smoke Free menyimpulkan saat ini semua gedung
perkantoran, mal, dan hotel tidak aman dari asap rokok. Hanya tempat yang
menerapkan 100 persen bebas asap rokok yang memiliki risiko pencemaran yang
rendah, sayangnya tempat seperti ini sedikit di Jakarta.
Oleh karena itu, penerapan aturan 100 persen bebas rokok di gedung
perkantoran, mal, dan hotel di Jakarta adalah satu- satunya cara untuk
mengurangi ancaman asap rokok.
"Harus ada gerakan masif dari masyarakat untuk mematuhi, menegur,
memantau serta mengawasi penegakan hukum Jakarta sudah memiliki peraturannya
tinggal penegakannya dan kita sudah tidak bisa menunggu lagi karena kesehatan
kita semua taruhannya," ujar Perwakilan Koalisi Smoke Free Jakarta,
Dollaris Riauaty Suhadi.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerbitkan peraturan baru yang
menjadi pedoman dalam pelaksanaan Kawasan Dilarang Merokok (KDM) yaitu Peraturan
Gubernur (Pergub) nomor 50 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan, pembinaan,
pengawasan dan penegakan hukum kawasan dilarang merokok.
(Abd)
(Abd)
Kasus
2
Terjaring Razia, 57 Perokok di PGC Didata
Jakarta -
Sebanyak 57 orang terjaring razia merokok di dalam area mal Pusat Grosir
Cililitan (PGC), Kramat Jati, Jakarta Timur, Selasa (24/6). Puluhan perokok ini
melanggar Perda nomor 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara dan
Pergub nomor 88 tahun 2010, tentang kawasan bebas rokok. Sebanyak 16 perokok
merupakan pengunjung mal, sementara sisanya karyawan dan pemilik kios yang
tersebar di tujuh lantai yang ada di mal PGC. Dalam razia ini, petugas Satpol
PP bersama petugas internal mal menindak para perokok dengan meminta Kartu
Tanda Penduduk (KTP) untuk didata dan diberi peringatan.
Kasie
Ops Satpol PP Jakarta Timur, Agus Sidiki menyatakan, razia tersebut merupakan
respon pihaknya untuk menanggulangi pencemaran udara terutama dari asap rokok
di kawasan mal PGC. Selama ini, rambu larangan merokok, dan imbauan dari
petugas mal kerap dilanggar para pengunjung dan pemilik toko.
"Penindakan
selalu dilakukan, tapi selalu berulang. Sasaran kami pemilik toko atau yang
menyewa, tapi tidak melupakan pengunjung," kata Agus kepada wartawan di
lokasi, Selasa (24/6).
Dikatakan
Agus, sosialisasi larangan merokok di dalam kawasan mal sudah dilakukan
pihaknya sejak setahun lalu. Untuk itu, saat ini pihaknya langsung menindak
dengan mendata para perokok.
"Kami
identifikasi dan menjadi database untuk pengelola gedung," jelasnya.
Nantinya, kata Agus, jika para perokok kembali kedapatan petugas merokok di
dalam area mal, pihaknya akan menindak lebih tegas dengan membawa ke
pengadilan. Berdasar Perda nomor 2 tahun 2005 dan Pergub nomor 88 tahun 2010,
perokok dapat dikenai denda Rp 50.000 atau pidana kurungan. "Untuk saat
ini belum dilakukan," katanya.
Berdasar
pantauan, petugas Satpol PP dan petugas internal mal disebar di setiap lantai
untuk menjaring para perokok. Sejumlah pengunjung, karyawan dan pemilik toko
yang tengah menghisap rokok sempat terkejut dengan razia tersebut. Petugas
langsung mematikan rokok dan memasukannya ke dalam sebuah plastik bersama
bungkus rokok, asbak dan korek dan KTP milik perokok. Beberapa pengunjung
langsung mematikan rokok dan mengelak saat petugas memintai KTP.
Salah
seorang pemilik kios, Tumindang Situmorang (43) bahkan sempat berdebat dengan
seorang petugas Satpol PP di ruang pengelola PGC saat akan mengambil KTP.
Tumidang membuka kios service handphone merasa keberatan dengan surat
pernyataan yang mesti ditanda tanganinya. Tumidang keberatan karena dalam surat
penyataan tersebut tertulis dirinya tertangkap tangan oleh petugas sedang
merokok di kawasan dilarang merokok.
"Di
situ ada tulisan tertangkap tangan, sementara petugas baru meminta KTP setelah
saya sudah selesai merokok. Karena itu saya tidak mau tanda tangan," kata
Tumindang.
Selain
itu, Tumidang mengaku merasa kecewa lantaran selama ini dirinya tidak pernah
dilarang untuk merokok. Tumidang menyatakan, selama ini sosialisasi dan
penegakan aturan mengenai larangan merokok tersebut masih kurang.
"Kalau
aturan saya rasa perda yang dipasang sudah ada. Cuma belum ada sosialisasi,
dijalankan enggak ada," katanya. Kurangnya penegakan aturan tersebut
terlihat dari masih banyaknya kios di dalam area PGC yang menjual rokok.
Tumidang meminta petugas tidak hanya menindak perokok, tetapi juga menindak
pemilik kios rokok. "Harusnya fair. Jangan perokok saja yang
ditindak," tegasnya.
Heri
(22), seorang pengunjung yang sedang menyewa game playstarion mengaku aktifitas
merokok di dalam mal sudah sering dilakukannya. Namun, selama ini, kebiasaan
tersebut tidak pernah ditegur oleh petugas internal mal.
"Sudah sering merokok.
Sekuritinya biasa saja. Baru kali ini sampai dirazia," ungkapnya.
Penulis:
F-5/AF
Sumber : http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/192431-terjaring-razia-57-perokok-di-pgc-didata.html
Analisis
Kasus
Proses Pembuatan
Kebijakan Kawasan Dilarang Merokok
Proses
kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam
proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut
dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu:
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan
dan penilaian kebijakan. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang
relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa, atau seluruh tahap dari proses
pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapinya. (William N.
Dunn, 2003: 22-23)
Adapun proses pembuatan kebijakan disini adalah kebijakan yang dibuat Pemprop
DKI Jakarta, Perda No.2 tahun 2005 pasal 13 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara dijadikan dasar pembentukan Perda No.75 tahun 2005 tentang Kawasan
Dilarang Merokok. Dalam Perda no.75 tahun 2005 tersebut diatur tempat-tempat
dan kawasan di mana orang-orang tidak boleh merokok sembarangan karena dianggap
mengganggu ketertiban umum.
1. Penyusunan Agenda
Dibentuknya
Perda tersebut karena muncul banyak keluhan dari masyarakat tentang gangguan
asap rokok di tempat umum, kurangnya kesadaran para perokok yang masih saja
seenaknya merokok di tempat-tempat umum tanpa memperhatikan aspek kenyamanan
dan dampak kesehatan bagi orang lain, serta meningkatnya tuntutan kesehatan dan
pengetahuan tentang dampak negatif asap rokok. Dari identifikasi Pemprov DKI
Jakarta, hal-hal tersebut ditangkap sebagai sebuah “masalah publik” yang
memerlukan regulasi, sehingga Pemprov DKI Jakarta menampung input tersebut dan
mengaplikasikannya menjadi sebuah kebijakan.
2. Formulasi Kebijakan
Setelah
masalah itu timbul, maka selanjutnya adalah tahap formulasi kebijakan. Dimana
para perumus kebijakan akan berhadapan dengan alternatif-alternatif
kebijakan sebagai pemecahan masalah yang ada. Tahap ini ada setelah
para perumus kebijakan sepakat untuk memasukan masalah tersebut dalam agenda
kebijakan. Kronologisnya masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan akan
dibahas oleh para pembuatan kebijakan. Lalu masalah-masalah yang ada
didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik.
Pemecahan
masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk ke dalam agenda kebijakan, jika dalam
perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih
sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Namun Pada tahap
formulasi masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan
terbaik. Misalnya pemerintah akan membuat kebijakan larangan merokok
ditempat-tempat umum. Maka pilihan kebijakannya meliputi : Pertama,
larangan merokok ditempat umum ditetapkan karena memberikan dampak positif
dilihat dari perspektif kesehatan, lingkungan dan lain-lain. Kedua,
larangan merokok ditempat umum tidak ditetapkan karena memberikan dampak
negatif pada kondisi ekonomi negara Indonesia. Alternatif kebijakan ini
didasarkan atas beberapa usulan dari Pemprop DKI Jakarta, Dinas kesehatan DKI
Jakarta, LSM yang bergerak pada bidang kesehatan masyarakat, pengusaha, dinas
pekerjaan umum dan lain-lain.
1.
Usulan dinas kesehatan agar larangan merokok ditempat umum di tetapkan yakni
untuk mengurangi angka kematian, dengan melihat dampak rokok yang sangat
berbahaya bagi kesehatan yang dapat menyebabkan kanker serangan jantung serta
gangguan janin namun yang menjadi alasan terbesar rokok merupakan salah satu
zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan bahaya kesehatan bagi
individu dan masyarakat baik selaku perokok aktif maupun perokok pasif. Oleh
sebab itu diperlukan perlindungan terhadap bahaya rokok bagi kesehatan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan. Maka dengan adanya larangan merokok
ditempat umum akan memberikan efek yang sangat positif di bidang kesehatan.
2.
Dari pengusaha dan dinas pekerjaan umum berpendapat bahwa larangan merokok
ditempat umum akan menimbulkan penurunan jumlah perokok padahal keberadaan
perokok bagi perusahaan merupakan hal yang sangat menguntungkan. Dengan semakin
banyaknya perokok, secara otomatis semakin banyak pula laba yang dihasilkan
oleh perusahaan tersebut. Dengan meningkatnya laba perusahaan rokok, maka
secara otomatis pendapatan negara dari sektor pajak juga meningkat (pajak untuk
rokok sebesar 36%). Dengan meningkatnya pendapatan negara dari sektor pajak,
maka kesejahteraan rakyat juga terangkat. Karena dengan penghasilan dari pajak
itulah pemerintah membiayai pembangunan negaranya. Selain itu, dengan adanya
perokok juga berarti pekerja pabrik rokok tetap bisa bekerja. Bisa dibayangkan
apabila satupun perokok sudah tidak diberi kebebasan lagi. Maka dipastikan
tidak ada pabrik rokok, yang berarti tidak ada pekerja di pabrik rokok. Berarti
pula meningkatnya jumlah pengangguran kerja. Maka mereka dari pengusaha ini tidak
setuju dengan adanya larangan tersebut.
3.
Dari Pemprop yang sangat mendukung dengan adanya larangan merokok ditempat
umum karena larangan tersebut merupakan upaya Pengendalian Pencemaran
Udara yang akan menciptakan udara yang sehat dan bersih bagi lingkungan
sekitar.
4.
Dari LSM yang berpendapat keberadaan perokok merupakan ancaman bagi generasi
kita. Bukanlah rahasia lagi apabila banyak di antara remaja (siswa) yang
merokok di tempat umum dengan masih mengenakan seragam sekolah. Hal ini tentu
berpengaruh terhadap perilaku mereka dalam pergaulan. Maka dengan larangan
merokok ditempat umum dan disertai sanksi yang tegas maka upaya untuk
menciptakan generasi muda yang bebas dari asap rokok dan memilki perilaku yang
baik akan terwujud.
Dalam tahap
formulasi terjadi pertarungan kepentingan antar berbagai aktor yang terlibat
dalam perumusan kebijakan. Pertarungan terjadi antara LSM, Pemprop, dan dinas
kesehatan yang melihat sisi positif apabila diterapkan larangan tersebut.
Dengan perspektif ekonominya yang menganggap merugikan pemerintah dan pengusaha
dalam hal pendapatan. Kondisi seperti ini, yang menunjukkan kepada
pilihan-pilihan kebijakan akan didasarkan pada kompromi dan negosiasi yang
terjadi antar aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan tersebut.
Dengan melihat manfaat yang akan didapat apabila larangan tersebut ditetapkan
maka para aktor pengambil kebijakan menyetujui ditetapkannya larangan tersebut.
Maka proses selanjutnya adalah dengan mengadakan legitimasi.
3.
Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Di
dalam proses legitimasi kebijakan merupakan proses penetapan dari salah satu
alternatif kebijakan yang telah terpilih oleh para perumus kebijakan diseleksi
dan diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara
direktur lembaga atau keputusan peradilan. Legitimasi menghasilkan sumber
informasi yang kuat dan relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya
dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa mendatang telah diestimasikan
melalui peramalan.
Rekomendasi
juga merupakan bagian dari proses legitimasi yang merupakan suatu proses yang
nantinya akan mengarah pada legitimasi kemudian akan membantu mengestimasikan
tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat yang
ditimbulkan, menentukan kinerja dalam pembuatan pilihan, dan menentukan
pertanggungjawaban administratif bagi implementasi kebijakan.
Dalam
tahap legitimasi juga berlangsung proses penyeleksian proposal atas usulan
kebijakan tersebut, membangun dukungan politik serta mengabsahkannya menjadi
undang-undang. Dalam birokrasi yang teratur, pengeluaran publik dan kegiatan
badan legislatif dapat diketahui berdasarkan standar kebijakan tersebut.
Ditubuh
birokrasi itu sendiri mempunyai peran dan posisi yang vital dalam proses
pengelolaan kebijakan termasuk pembuatan kebijakan publik. Birokrasi baik itu
secara langsung maupun tidak langsung sangat menentukan tingkat efisiensi dan
kualitas pelayanan publik yang akan diberikan kepada masyarakat serta
efektifitas penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kebijakan publik yang
telah ditetapkan oleh pemerintah akan dapat berjalan secara efektif apabila
terdapat birokrasi yang sehat serta memiliki integritas dan kompetensi dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai abdi dan representatif dari
masyarakat.
Peran
penting yang dimiliki birokrasi dalam proses pembuatan kebijakan publik
menimbulkan pengaruh lain. Birokrasi dan sistem politik menjadi berkaitan erat
sehingga mendorong birokrasi untuk turut campur dengan kehidupan politik
sehingga netralitas yang seharusnya dimiliki oleh birokrasi semakin berkurang.
Birokrasi dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk
mencapai ataupun mempertahankan kekuasaan pihak terkait.
Kebijakan
publik dirancang, dilaksanakan dan dievaluasi oleh birokrasi publik. Lingkungan
sekitar baik itu lingkungan internal maupun lingkungan eksternal mempunyai
pengaruh yang besar terhadap kebijakan publik. Dari aspek eksternal meliputi
kesiapan dalam menerima setiap keputusan dalam pembuatan kebijakan publik dari
stakeholder yang bervariasi di masyarakat.
Berkaitan
dengan diberlakukannya Perda No.75 Tahun 2005 tentang Kawasan dilarang Merokok
sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari pemberlakuan Perda No.2 Tahun 2005
tentang Pengendalian Pencemaran udara, diketahui bahwa alternatif tersebut
dilegitimasi mengingat bahwa kebijakan ini bertujuan sebagai faktor pendukung
dari Perda sebelumnya tentang pengendalian pencemaran udara di propinsi DKI
Jakarta dengan mempertimbangkan segala sebab dan akibat dari kebijakan
tersebut. Namun, setelah segala pertimbangan menuju kepada tahap legitimasi,
hal ini menimbulkan pro kontra antara pihak yang memiliki perbedaan
kepentingan.
Di
satu sisi amanat akan Perda tentang pengendalian pencemaran udara akan dibantu
dengan disahkannya Perda tentang kawasan dilarang merokok. Namun, di sisi lain
hal ini secara perlahan akan mengurangi aspek pendapatan negara karena sebagian
sektor pendapatan berasal dari produksi akan rokok itu sendiri. Akan tetapi
dilihat dari berbagai alternatif beserta konsekuensi dan manfaat yang akan
ditimbulkan dari diberlakukannya perda tentang kawasan larangan merokok ini
maka perda ini tetap dipertahankan dengan prosedur yang telah tertuang dan
tidak lepas dari peran masyarakat atau lembaga dan organisasi yang berkembang
di masyarakat.
Kebijakan
publik merupakan respons dari sebuah sistem politik terhadap tuntutan maupun
dukungan yang mengalir dari lingkungannya. Pemerintah sebagai pelaku utama
implementasi kebijakan publik memiliki dua fungsi yang berbeda, yakni fungsi
politik dan fungsi administratif. Fungsi politik merupakan fungsi pemerintah
sebagai pembuat kebijakan. Sedangkan fungi administratif adalah fungsi
pemerintah sebagai pelaksana kebijakan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki
kekuatan diskretif (discretionary power) dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan tersebut dan para aktor lain juga harus memainkan peran pengawasan
dalam pelaksanaan kebijakan itu.
Sebuah
kebijakan publik akan disusun berdasarkan sebuah proses sebagai berikut:
identifikasi, formulasi, legitimasi, implementasi dan evaluasi. Khusus pada
bagian ini, akan dibahas mengenai implementasi kebijakan publik. Implementasi
kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi
hukum di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik yang bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang
diinginkan. Sedangkan pada sisi lain implementasi merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses, output maupun sebagai
hasil.
Tahap
implementasi kebijakan ini tidak akan dimulai sebelum tujuan-tujuan dan
saran-saran ditetapkan atau diidentifikasi oleh keputusan-keputusan kebijakan.
Tahap ini terjadi hanya setelah undang-undang ditetapkan dan dana disediakan
untuk membiayai implementasi kebijakan tersebut.
Pemerintah
provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Perda
ini berisi tentang pengendalian pencemaran udara yang menjadi dasar larangan
merokok di area publik atau tempat umum. Penerapan Peraturan Daerah Nomor 2
Tahun 2005 yang mengatur tentang kawasan dilarang merokok belum sepenuhnya
terlaksana dengan baik. Berbagai kendala terutama terkait implementasi
pemberian sanksi terhadap pelaku, masih menjadi kesulitan utama di lapangan.
Gubernur
DKI Jakarta Fauzi Bowo juga menyatakan bahwa perda larangan merokok di tempat
umum masih kurang efektif. Menurutnya, untuk lebih mengefektifkan pelaksanaan
perda tersebut pemprov akan lebih banyak melibatkan komponen masyarakat. Dalam
pelaksanaan peraturan daerah ini membutuhkan kerjasama masyarakat dalam
mengawasi pelaksanaan berbagai perda mengingat jumlah aparat yang terbatas.
Kenyataan
yang terjadi di lapangan adalah banyak warga masyarakat yang merupakan perokok
aktif banyak yang merokok di tempat-tempat yang termasuk dalam kategori kawasan
dilarang merokok. Walaupun sudah ada tempat khusus merokok bagi para perokok,
terkadang masih banyak orang yang merokok seenaknya sendiri tanpa menghiraukan
kenyamanan dan kesehatan orang lain.
Merokok
merupakan hal yang sudah umum di kalangan masyarakat kita. Begitu umum dan
lumrahnya, anak yang secara emosional belum dewasa pun kerap kali kedapatan
merokok. Suatu kebanggaan, begitu kata mereka. Bahkan seringkali kedapatan
remaja yang masih mengenakan seragam sekolah. Sungguh, sebuah fenomena yang
menarik untuk dicermati.
Perda Nomor 2 tahun 2005
memiliki sanksi yang cukup berat, yakni berupa kurungan badan selama enam bulan
penjara atau denda uang sebesar Rp 50.000.000,-/ lima puluh juta rupiah. Karena
tidak adanya ketegasan dari penerapan larangan merokok pada akhirnya Pemprov
DKI Jakarta akan mengajukan perda khusus yang berbentuk rokok dengan sanksi
tindak pidana ringan (tipiring). Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ibu Peni Susanti mengatakan penegakkan hukum akan
sangat sulit sebab memerlukan dana, sumber daya manusia, kapasitas, dan tentu
saja kinerja institusi yang tidak terbatas.
Oleh
karena itu, ternyata para elemen masyarakat melalui BPLHD bekerja sama dengan
SIF (Swisscontact Indonesia Foundation) telah mengkaji aspek legislasi pada
peraturan daerah tersebut. khususnya pasal 13 yang berbunyi sanksi minimal enam
bulan penjara dan denda hingga Rp 50.000.000,-. Selain revisi sanksi,
implementasi Kawasan Dilarang Merokok (KDM) kemungkinan juga akan dirubah.
Kalau pada awalnya KDM itu artinya adalah salah satu ruangan khusus untuk
merokok maka untuk selanjutnya berarti tidak akan ada ruangan khusus untuk
merokok juga untuk perokoknya. Lima kawasan yaitu sekolah, tempat ibadah,sarana
kesehatan,tempat bermain anak dan angkutan umum KDM akan total, tak akan boleh
ada asap rokok yang mengepul.
Kepala
Bidang (Kabid) Penegakan Hukum BPLHD DKI Jakarta Ridwan Panjaitan juga
menyatakan bahwa kendala dalam penegakan selama ini adalah pada jam penegakan
di lapangan pihaknya harus berkoordinasi dengan aparat kehakiman dan harus
melakukan pemberkasan sebelum dijatuhkan sanksi. Nantinya sanksi revisi di
perda baru disederhanakan dan menjadi sanksi tipiring. Bentuknya seperti
pengendara bermotor yang melanggar akan ditilang dan wajib mengikuti
persidangan. Selain sanksi pidana juga ada sanksi administrasi seperti
pencabutan izin operasi akan diakomodasi di revisi peraturan daerah. Revisi
perda biasanya dilaksanakan lima tahun sekali yang untuk selanjutnya akan
dilakukan pada tahun 2010.
BPLHD
dalam hal ini telah banyak membantu dalam proses revisi perda tersebut, yang
bertujuan untuk melindungi pekerja dan pengunjung dari bahaya asap rokok.
BPLHD pun juga telah melakukan evaluasi kinerja terhadap penerapan
Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2005. Dari 120 kawasan perkantoran dan rumah
sakit yang dievaluasi antara lain terungkap sebanyak 36 persen diantaranya
berkategori buruk dalam menerapkan perda larangan merokok.
Perda
larangan merokok di Indonesia harus diberlakukan untuk tempat-tempat umum
seperti perkantoran, pusat-pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, sarana
kesehatan, tempat bermain anak dan angkutan umum, dan sebagainya. Maka untuk
itu, perda ini masih harus disosialisasikan kepada publik agar tidak terjadi
kesalahan persepsi dan biasanya kebijakan itu dirasakan masyarakat tidak
mengetahui tentang Perda ini, karena kurangnya sosialisasi baik pemerintah
daerah sendiri maupun para pihak swasta yang harus mendukung kebijakan ini.
4. Penilaian/ Evaluasi
Kebijakan
Evaluasi
berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil
kebijakan. Evaluasi sebuah kebijakan publik tentunya melibatkan berbagai pihak,
diantaranya masyarakat sebagai objek dari pembangunan. Suatu kebijakan atau
program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa
masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi. Masyarakatlah yang
berhadapan langsung dengan pelayanan yang disediakan oleh pemerintah.
Birokrasi,
baik dalam berbagai jabatan pemerintah turut serta dalam memfasilitasi
pelayanan publik tersebut, agar sesuai dengan yang diharapkan, yakni efektif,
efisien, dan accountable. Evaluasi kebijakan seringkali dianggap sebagai tahap
akhir penutup perumusan kebijakan, padahal dalam mengevaluasi akan biasa
ditemukan kesukaran. Masyarakat pada dasarnya menginginkan perumusan kebijakan
yang secara umum demokratis dan juga arif seringkali menimbulkan kontradiktif.
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang
ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan yang
benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap
penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan.
Evaluasi
tidak hanya menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan,
tetapi juga menyumbang pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali masalah.
Evaluasi memainkan sejumlah fungsi utama dalam analisis kebijakan.
Pertama, dan yang terpenting, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat
dipercaya mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan
kesempatan telah dapat dicapai melalui tindakan publik. Dalam hal ini, evaluasi
mengungkapkan seberapa jauh tujuan-tujuan tertentu dan target tertentu telah
dicapai. Peran birokrasi dalam evaluasi kebijakan publik adalah dengan
diterimanya setiap ada aduan dari rakyat apabila sebuah kebijakan atau program
pemerintah dinilai menyeleweng dari kepentingan rakyat atau tidak sesuai dengan
yang diharapkan oleh rakyat.
Di
dalam keputusan perda Jakarta mengenai larangan merokok di tempat umum
memerlukan evaluasi apakah memang tepat sasaran ataukah tidak. Adapun formulasi
kebijakan yang diambil dalam pembuatan Perda ini adalah model teknokratis
rasional yang artinya mereduksi kebijakan publik sebagai proses dan hasil kerja
teknik. Dimana formulasi kebijakan ini hanya dipercayakan kepada mereka yang
menguasai (Pemprop DKI) yang menguasai pengetahuan dan kemampuan yang lebih dan
mampu untuk mengatasi permasalahan atas rokok ini, tanpa memandang perlu
memediasi antara masyarakat, LSM, pengusaha dan pihak-pihak yang nantinya akan
terkena imbas dari kebijakan ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Dunn,
William N. 1992. Analisa Kebijaksanaan Publik. Yogyakarta: Prasetya
Offset.
Dunn, William N. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan
Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Islamy,
Irfan. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta:
Bumi Aksara.
Suryaningrat,
Bayu. 1989. Perumusan Kebijaksanaan dan Koordinasi Pembangunan di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara.
Komentar
Posting Komentar